INHU | Menylanews.com
Di jalan raya Indonesia, kita sering menyaksikan dua jenis kendaraan yang punya cerita yang sama: sama-sama mencari nafkah, sama-sama jadi tumpuan ekonomi keluarga, dan sama-sama berada dalam pusaran kebijakan yang tak selalu berpihak kepada mereka. Mereka adalah pengemudi ODOL (Over Dimension Over Load) dan OJOL (Ojek Online).
Keduanya bergerak di atas aspal demi sesuap nasi. Pengemudi ODOL dianggap melanggar aturan karena membawa muatan melebihi kapasitas. Sementara OJOL, sering kali harus menerima pesanan yang tak masuk akal—jarak jauh, beban berat, tapi tetap dengan tarif yang sama atau bahkan lebih murah.
ODOL: Demi Menekan Biaya Produksi
Truk ODOL kerap dimanfaatkan oleh pemilik usaha besar untuk menekan biaya produksi. Mereka memuat barang sebanyak mungkin dalam satu kali jalan. Tujuannya satu: efisiensi. Tapi siapa yang menanggung akibatnya? Para sopir yang harus membawa muatan berlebih dengan risiko tinggi. Jalanan rusak, potensi kecelakaan meningkat, dan sopir sering jadi kambing hitamnya.
OJOL: Dikejar Target, Ditekan Sistem
Di sisi lain, pengemudi OJOL menghadapi tekanan dari sistem aplikasi. Kadang mereka tak bisa menolak pesanan meski harus mengangkut barang berat atau menempuh jarak jauh dengan tarif rendah. Penolakan bisa berujung pada penurunan performa akun, bahkan pemutusan mitra. Siapa yang diuntungkan? Bukan pengemudi, melainkan pemilik aplikasi.
Kesenjangan Regulasi
Masalah utamanya bukan pada pengemudi, melainkan pada sistem dan kebijakan yang timpang. Para pengemudi ini bekerja di bawah tekanan, sering tanpa perlindungan yang memadai. Padahal, mereka inilah roda penggerak ekonomi mikro dan logistik nasional.
Tapi dalam kebijakan baru pemerintahan Prabowo sekarang ini masalah tersebut sepertinya mendapatkan angin segar. pemerintah sedang akan menertibkan malalui mekanisme dan regulasi terbaru namun sayangnya hal ini dilakukan setelah masalah sudah menjadi gunung es. Undang-undang dan regulasi sering kali telat hadir atau tidak sepenuhnya menyentuh akar persoalan. Penertiban ODOL memang perlu, tapi juga harus dibarengi dengan solusi bagi sopir dan pelaku logistik kecil. Begitu juga dengan OJOL—perlu regulasi yang berpihak, bukan hanya sekadar kontrol sepihak oleh korporasi aplikasi.
Jalan Tengah yang Harus Dibuka
Pemerintah sebagai pemangku kepentingan utama harus hadir lebih awal dan lebih aktif. Aturan main harus adil bagi semua, termasuk pengemudi. ODOL harus ditertibkan, tapi harus ada opsi logistik terjangkau. OJOL harus dilindungi, bukan dimanfaatkan.
Kita tidak bisa terus membiarkan pengemudi menjadi korban dari sistem yang tak berpihak. Jalanan adalah ruang hidup mereka, bukan hanya ruang lalu lintas. Jika ODOL dan OJOL terus jadi PR tanpa penyelesaian konkret, maka ini bukan lagi soal pelanggaran lalu lintas, tapi soal keadilan sosial.
Arifin



							








